Connect with us

Opini

OPINI: Perempuan dan Rumahnya

Published

on

Kesetaraan gender masih menjadi isu yang tidak habis diperbincangkan. Stigma masyarakat membuat kehadiran perempuan sering diabaikan sebab terjadi bias gender yang mengakar turun-temurun. Bias gender adalah pembagian peran dan posisi yang memihak pada satu jenis kelamin saja. Ketidakadilan itu berbuntut pada terbatasnya ruang gerak bagi perempuan. Berbeda dengan laki-laki yang bebas produktif tampil di tengah publik. Padahal perempuan adalah individu yang juga terlahir dengan kemampuan berpikir dan mempunyai potensi besar untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa.

Sejak akhir abad ke-18 feminisme muncul ke permukaan mengetuk hak kaum perempuan disetarakan dengan kaum laki-laki kemudian berkembang pesat pada abad ke-20. Feminisme ialah serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender di lingkup politik, ekonomi, sosial, dan pribadi. Secara awam kita telah mempelajari hal serupa di bangku Sekolah Dasar dengan sebutan emansipasi wanita. Sebuah perjuangan dari R.A Kartini agar perempuan dan laki-laki setara di bidang pendidikan. Kini perempuan bisa bersekolah setinggi-tingginya, tidak sekedar di dapur dan kasur.

Kesetaraan gender kemudian merangkak masuk ke ranah rumah tangga. Penulis tertarik mengangkat stereotip mengenai kodrat dan peran perempuan dalam lingkup ini karena keluarga adalah unit sosial terkecil dimana kedudukan perempuan, secara sadar atau tidak sadar, dilemahkan. Perempuan menuntut peran setara dengan laki-laki bukan sebagai bentuk pembangkangan apalagi upaya mengalahkan kedudukan laki-laki sehingga dianggap menyalahi kodratnya. Gender dan kodrat adalah dua hal berbeda. Kodrat perempuan merupakan tugas spesial pemberian Tuhan yang tidak bisa dipertukarkan, seperti mengandung, melahirkan, dan menyusui. Ibu guru yang sedang hamil pergi mengajar murid-murid di sekolah merupakan satu contoh sederhana bagaimana perempuan mampu berperan di masyarakat sekaligus menjalankan kodrat sebagai perempuan.

Baca Juga  Catatan Kritis “Bontang Student Expo” Harusnya Mendidik, Bukan Begini

Namun demikian, konsep setara masih terhalang pemikiran kuno. Di Indonesia sendiri penganut patriarki mendominasi wilayah negeri. Patriarki adalah sebuah sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama, dalam hirarki laki-laki berada di tingkat pertama dan perempuan di tingkat kedua. Laki-laki dipandang lebih istimewa dibandingkan perempuan karena memiliki otoritas terhadap istri, anak dan harta benda. Sebagian besar keluarga di Indonesia pun menarik garis keturunan dari pihak ayah (patrilineal) termasuk di keluarga penulis. Perempuan selalu terjebak dan merasa serba salah menjalankan peran dalam situasi patriarki.

Mengintip peran perempuan melalui jendela rumah tangga ternyata cukup pelik. Setelah menikah sebagian perempuan membatin. Kesibukan mengurus segala sesuatu dirumah wajib dilakukan tapi tidak diberi cukup uang belanja, tidak dibiarkan bekerja, dilarang keluar rumah, suami tidak menerima masukan, tidak sampai disitu adapula yang bertahun-tahun mengalami KDRT dan terpaksa bungkam karena dia perempuan. Dia hanya seorang istri. Ada perempuan yang beruntung dianugerahi keluarga pasangan yang menerima apa adanya, beberapa perempuan bernasib malang. Dinilai dari ujung rambut hingga ujung kaki, ditanyai seberapa banyak hapalan bumbu dapur dan dikomentari ketahanan mental menjadi anggota keluarga baru. Tidak peduli bagaimana perasaan perempuan, jika telah dibawa suami dia seperti kehilangan hak atas dirinya sendiri.

Advertisement

Mengutip tulisan karya Nurul Suci Jahar tentang Balada Pernikahan :

“Serumit itu embel-embel yang harus diterima sebagai istri, menantu baru. Kembali ke rumah, sebagai anak perempuan yang telah menikah untuk pertama kalinya di rumah sendiri merasa ganjil, seorang baru hadir dalam hidup kita, tapi terasa justru seperti ada sesuatu yang hilang, entah apa, ada yang hilang. Cara kita diperlakukan dan memperlakukan ayah, ibu, saudara, juga berangsur-angsur berubah, tidak menjadi lebih baik ataupun buruk, hanya berbeda. Kita perempuan tiba-tiba menjadi sungkan pada orang tua sendiri, mulai mengubah kebiasaan bermalas-malas, mengubah topik bercandaan menjadi lebih etis dengan saudara-saudara. Benar-benar menjadi berbeda. Hal yang berbeda kulihat dari sisi pria, pasangan kita, semuanya terlihat mudah baginya. Di rumah istri, menantu laki-laki disegani dan disuguhi dengan hangat diperlakukan selayaknya raja. Di rumahnya sendiri, kembali menjadi anak laki-laki kesayangan orang tuanya. Sehingga terasa tepat asumsi bahwa wanita lebih struggle menjalani kehidupan awal pernikahan dibanding pria. Perempuan adalah orang lain di rumah suami, dan tamu di rumah sendiri.” (Mlaku, edisi II)

Baca Juga  Tiga Tahun Jadi Korban KDRT, Warga Pisangan Ini Kecewa Penahanan Suaminya Ditunda

Posisi perempuan dalam rumah tangga tergambar baik pada tulisan di atas. Deskriminasi gender biasanya tidak pernah menguntungkan pihak istri. Keresahan yang timbul bukan saja berasal dari laki-laki terkadang dari sesama perempuan di lingkungan suami. Seringkali atas dasar kalimat istri milik suami, suami milik ibunya, dipraktekan secara tekstual dalam pernikahan akhirnya membuat kebanyakan pihak suami menyimpulkan “berkuasa” atas hidup perempuan. Padahal kalimat tersebut mengajarkan hikmah yang luar biasa mendalam.

Saat suami dan istri berkarir, keduanya otomatis mendapat tanggapan berbeda dalam keluarga. Suami yang sibuk bekerja dianggap pekerja keras sedangkan istri yang berkerja akan dipertanyakan bagaimana dia mengurus rumah, suami dan anak-anaknya. Konotasi negatif semacam itu membuat kita melupakan bahwa perempuan memiliki kapasitas multitasking yang lebih luas dibanding laki-laki. Dia bekerja mencakup lebih banyak tugas dengan efektif dan efisien. Perempuan bisa menyelesaikan pekerjaan rumah dan melayani suami, baru setelah itu bersiap ke kantor, menyempatkan bertemu kerabat, kemudian pulang kembali ke rumah sebagai istri. Aktivitas tersebut tetap bisa berlangsung bahkan setelah menjadi seorang ibu. Perempuan mengerjakan dengan mudah karena telah diberikan kemampuan naluriah untuk mengatur, pula diberkahi ketangguhan dibalik keteduhan.

Kesetaraan gender sebaiknya disambut hangat di rumah-rumah paham patriarki. Ajaran leluhur masih menyediakan ruang perubahan, lagipula peran setara tidak menjadikan perempuan lupa peran kodrati.  Keseimbangan hidup harus terjaga karena di dalam rumah istri adalah jantung bagi semua. Perempuan hanya membutuhkan dukungan untuk mengoptimalkan kekuatan diri di tempat dia berada, termasuk dalam rumah tangga, diberi kesempatan yang sama, terlepas dari perasaan tertindas dan ancaman kekerasan.

Advertisement

Penulis: Ita Cahraeni