Connect with us

Bontang

Kisah Andi dan Dedi, Ojol Bontang Beda Latar Belakang

Published

on

BEKESAH.co – Bontang kedatangan tamu yang dinantikan, ojek online alias bang ojol. Di kota-kota besar, ojol menjadi alternatif ramah ongkos berbagai kalangan hingga diibaratkan “sang penyelamat” di waktu ketat.

Mulai dari jasa antar-jemput anak sekolah, pekerja kantoran, malaikat bagi perutmu yang lapar dan kakimu yang malas kala dini hari, kurir barang sampai tukang belanja kebutuhan rumah.

Bagaimana dengan abang atau mbak ojol di Bontang?  Apa dengan wilayah kota yang mungil lantas profesi ini menjadi mudah? Tinggal antar penumpang dan makanan, dapat uang ditambah bonus alias reward. Gampang?

Padahal jika mau jujur-jujuran, siapa yang ingin bercita-cita menjadi ojek sejak kecil? Meskipun ditambah kata “online”, tidak langsung membuat pekerjaan mengojek jadi serba mudah. Lewat jempolmu, ojol bisa mendadak berhenti di tengah santap siangnya karena menerima orderan.

Beberapa memutuskan menjadi ojol didasari tuntutan kondisi. Kurangnya lapangan pekerjaan, sistem kerja kontrak yang riskan dan tidak dapat peluang memperlihatkan keterampilan di perusahaan idaman karena “pitis” ambil bagian.

Advertisement

Dari sini, bekesah.co bertemu Andi dan Dedi. Dua abang ojol di Bontang yang punya cerita berbeda kala GRAB merekat di punggung jaket mereka.

Ia meminta disebut Andi dalam kisah ini. Katanya, ini sapaan akrabnya sehari-hari. Jauh sebelum menjadi ojol, Andi pernah bekerja di salahsatu perusahaan pertambangan batu bara. Kelalaian kerja berujung insiden mengakibatkan dirinya dijatuhi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

“Sebelumnya saya kerja di tambang selama hampir dua tahun, akibat kecelakan kerja itu membuat saya susah dapat pekerjaan lagi,” ujarnya.

Sebagai kepala rumah tangga, Andi sempat melakoni sejumlah pekerjaan. Di benaknya, senyuman anak dan istrinya menjadi bahan bakar saat ia bekerja. Berangkat pagi pulang pagi ia jalani demi sekolah anak dan bahan dapur tetap terisi.

Baca Juga  BLT Bulan April Rampung Disalurkan, Sisakan 248 KK yang Akhirnya Dialihkan ke Penerima Lain

“Sejatinya bukan profesi ojol saja, namun pekerjaan lain juga memiliki lelah yang sama bahkan lebih. Namun kembali lagi semua berjuang demi senyuman keluarga,” ungkap Andi.

Advertisement

Ia menyebutkan, pekerjaan sebagai ojol tidak menjamin hidup sejahtera. Dengan penghasilannya rata-rata Rp 150 ribu per hari, dapat habis untuk kebutuhan harian. Tidak bisa ditabung. Ia merasakan perbedaan saat bekerja di perusahaan tambang dengan jam kerja teratur, upah yang dinilai cukup besar dan kepastian bulanan.

“Lebih enak kerja sih. Karena pendapatanya pasti. Kalau ojol tergantung rejeki, kadang banyak kadang dikit. Jika dijumlah sebulan kadang dapat Rp 4,5 juta,” ungkap Andi.

Abang juga semangat.. jaga kesehatan. Oke bosku. (Ismail/bekesah.co)

Berbeda dengan kisah Dedi, yang sebelumnya hanya pekerja serabutan buruh bangunan. Ia mengaku diupah harian sebesar Rp 110 ribu. Panasnya terik matahari dan berlumur lumpur dia jabanin. Minimnya pendidikan menjadi batas dirinya mendapatkan pekerjaan yang dianggapnya laik.

Kehadiran aplikasi jasa kurir ini disyukuri benar olehnya. Sebagai buruh serabutan, menjadi ojol terasa begitu ringan buat Dedi.

“Karena dulu kerja serabutan rasanya berat. Pas jadi ojol jadinya ringan, karena gak harus angkat-angkat batu, aduk semen dan nyangkul. Kalau ojol mah tinggal gas motor saja,” ucap Dedi.

Kurang lebih Andi, Dedi bisa meraup pendapatan Rp 100 ribu per hari jika ia sedang malas-malasan. Tapi kalau lagi semangat, ia mengaku bisa mendapatkan total Rp 200 ribu karena melayani sampai malam.

Advertisement

Bapak dua anak ini menyebutkan, saat menekuni profesi ojol diri sekerang bisa lebih banyak menghabiskan waktunya dengan keluarga ketimbang masih menggenggam perkakas.

“Lebih enak ojol, Mas. Dulu waktu pergi pagi pulang jam enam sore langsung tidur karena kecapean. Kalau ojol suka-suka kita aja. Lelah bisa istrahat, kalau pengen main sama anak ya tinggal pulang ke rumah.”

Baca Juga  Masih Banyak yang Nggak Pakai Masker, Pelanggar Protokol di Bontang Capai 2.437 Orang

Tapi Dedi juga mengalami nasib yang sama dihadapi jutaan rekan ojol lainnya di Indonesia. Tidak jarang ia mendapatkan orderan fiktif hingga customer yang kelewat batas. “Hal ini sering terjadi, sama dengan ojol yang lain. Hampir semua ojol perna dapat orderan fiktif,” kata Dedi santai. (*)

Penulis: Ismail Usman

Advertisement