Connect with us

Opini

The New Normal: Jurus Retorika Bahasa, atau Memang Solusi Nyata?

Published

on

SETELAH PSBB berjilid-jilid digencarkan, kini kebijakan baru tengah dipersiapkan: New Normal, istilahnya. Sebuah kebijakan baru yang diharapkan mampu untuk merevitalisasi berbagai sektor kehidupan, namun dengan catatan: tetap mematuhi protokol kesehatan. Adalah kebijakan baru yang diharapkan mutakhir, sekaligus diharapkan mampu mendatangkan titik terang, guna kemaslahatan kita bersama. Kebijakan yang tengah dipersiapkan ini, tidak terlepas dari tanggapan sekelompok masyarakat yang pro-kontra, berkenan untuk mematuhi-menolak, dan menganggap kebijakan ini sangat tega-sebuah solusi nyata. Pasalnya, sampai dengan hari ini pun, kurva dari penyebaran wabah Covid-19 belum bisa dikatakan melandai: karena tumpang tindih informasi.

Dilansir dari portal berita Republika.co.id yang di dalam beritanya mengutip pernyataan dari Pakar Epidemiologi, dan juga Rektor Universitas Alma Ata Yogyakarta, Profesor Hamam Hadi menyebutkan “tren kasus positif terinfeksi Covid-19 di Indonesia saat ini tengah menuju puncak kurva epidemi virus korona jenis baru itu” (6/6/2020). Jadi, wabah penyakit ini, kemungkinan akan terus meningkat, kemungkinan akan terus memuncak, atau syukur-syukur bisa benar-benar melandai. Sehingga, New Normal perlu disambut dengan baik oleh seluruh lapisan masyarakat.

Penulis rasa, tidak habis pikir terhadap kurang disiplinnya sikap masyarakat saat PSBB, dan kekhawatiran pemerintah akan semakin anjloknya berbagai sektor kehidupan, terutama perekonomian. Bisa saja menjadi landasan dasar pemerintah pusat-daerah untuk melakukan aktivitas kembali seperti biasanya, namun dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, walaupun kita tahu bersama-sama, bahwa kurva penyebaran wabah penyakit ini belum juga melandai. Kemudian, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi), juga sempat mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk “berdamai dengan korona”, memulai kehidupan tatanan masyarakat baru, dan sembari menunggu vaksin ditemukan, kita akan tetap melawan penyebaran wabah penyakit ini dengan protokol kesehatan, dan juga kedisiplinan, menjadi suatu hal yang sempat diperbincangkan.

Baca Juga  OPINI: Perempuan dan Rumahnya

Dengan tetap mengenakan masker saat keluar rumah, rajin mencuci tangan setelah bersentuhan terhadap sesuatu, tidak berkerumun, atau tetap taat saat mengantre di fasilitas umum, bila batuk-bersin di depan umum harus ditutup dengan tangan, bukankah sudah diajarkan oleh para orang tua kita sedari dini? Lantas, seperti apa konsep New Normal yang sesungguhnya? Semoga konsep ini bukanlah sebuah “Jurus Retorika Bahasa” semata.

Beradaptasi, Meskipun Dinilai Berlebihan

Gaung konsep New Normal terus berkumandang diberbagai media seiring berjalannya waktu. Berbagai persuasi, sosialisasi, dan juga diskusi tengah dilakukan, sebelum pemerintah benar-benar merasa yakin untuk menerapkan kebijakan tersebut secara utuh (nasional). Jika konsep ini dibenarkan secara apa adanya untuk mengatasi rumitnya permasalahan. Mau tidak mau harus kita indahkan, meskipun terkadang dinilai cukup berlebihan. Memaklumi meski kurang logis, menerima meski belum terbiasa, dan turut mendukung meski sedikit merasa ragu, terkadang menjadi problema tersendiri bagi masyarakat saat memaknai konsep New Normal.

Advertisement

Jika kebijakan tersebut mampu mendatangkan kemaslahatan bersama. Pemerintah harus memperketat pengawasan, memonitoring, dan cepat tanggap, apabila kebijakan tersebut mendekati ambang ketidakmungkinan untuk diteruskan, serta menyiapkan terobosan baru (plan) dengan secepat mungkin, guna dilakukan di kemudian hari (bila menemukan masalah). Dikarenakan virus ini belum menemui waktu yang pasti akan berakhir, dan titik terang vaksin juga belum ditemukan, teramat perlu dilakukan sebagai pemangku kebijakan untuk (lebih) meningkatkan kinerja kerja nyata mereka, supaya masyarakat bisa merasa lebih percaya.

Tetap Waspada, dan Tidak Menyepelehkan

Meskipun pemerintah akan menerapkan kebijakan baru setelah PSBB: New Normal. Langkah tersebut bukanlah sebuah makna bahwa virus ini sudah berakhir, atau akan segera berakhir dengan tempo yang sesingkat-singkatnya (seperti teks proklamasi). Justru, dengan diterapkannya kebijakan tersebut, kita harus lebih waspada jika diharuskan keluar rumah, dan tidak menyepelehkan kondisi tubuh kita bila mengalami gejala yang serupa. Diperlukan peningkatan keawasan secara masing-masing individu, tidak mendukung mereka yang mengatakan kebijakan ini “terlalu berlebihan” atas dasar yang tidak logis, dan menjadi contoh dalam lingkungan terdekat kita, supaya mereka melakukan hal yang serupa: waspada dan tidak menyepelehkan.

Baca Juga  New Normal Baru Mulai 1 Juni, Banyak Cafe di Bontang Masih Bebal

PSBB yang sudah dilakukan secara berjilid-jilid saja, bukan sebuah keniscayaan yang bersifat ampuh untuk menghentikan laju penyebaran wabah penyakit ini. Apalagi, jika seandainya PSBB ini sedikit dilonggarkan, dan ditransisikan ke sebuah kenormalan baru. Besar kemungkinan, dan tidak bisa dipungkiri akan terjadi Gelombang Kedua Covid-19 di Indonesia yang bisa lebih berbahaya. Maka daripada itu, sekali lagi, diperlukan kedisiplinan dan kewaspadaan, serta tidak menyepelehkan yang berasal dari masing-masing individu. Dengan senang hati tanpa merasa dibebani, dan dilakukan tanpa perlu diingatkan.

Transparansi Informasi: Baik Pemerintah, Maupun Masyarakat

Membangun sebuah kepercayaan antara pemerintah dan juga masyarakat, menjadi hal yang sangat penting ketika New Normal akan segera diterapkan.  Pemerintah yang sebelumnya sempat membatasi berbagai informasi atas dasar tidak menginginkan kepanikan secara berlebihan, lantas setelahnya membeberkan informasi tersebut kepada publik, menjadi salah satu kekeliruan yang harus segera diperbaiki.

Masyarakat yang juga sempat tutup mulut kepada petugas medis, bahwa ia sedang mengidap gejala tersebut, juga perlu diperbaiki secara pribadi. Jika salah satu di antaranya terus menanamkan benih kecurigaan satu sama lain, mau sampai kapan wabah virus ini akan segera berakhir? Yang jelas, pasti kita ingin semuanya berjalan dengan semestinya, kembali ke kondisi semula, dan tanpa perlu banyaknya nyawa yang berjatuhan akibat wabah virus korona.

Advertisement

Maka daripada itu, kekeliruan-kekeliruan yang telah berlalu. Marilah kita kubur secara hidup-hidup, dan jangan diberikan ruang untuk bangkit kembali dari liang lahatnya.

Penulis: Aan Afriangga, merupakan mahasiswa Fikom Universitas Mpu Tantular.