Connect with us

Bontang

Susahnya Cari Kerja di Kota Industri, Banyak Loker Harus Ada Orang Dalam

Published

on

Ilustrasi pencari kerja. (ODA/BEKESAH.co)

SUDAH sepekan ini Rani (bukan nama sebenarnya) harap-harap cemas menunggu jawaban usai mengikuti tahapan wawancara kerja secara daring di salah satu perusahaan pembiayaan di Kota Bontang. Ia menaruh harapan besar agar upayanya kali ini berbuah manis.

Sepekan, dua pekan, hingga sebulan menunggu namun kepastian yang ditunggu tak kunjung datang. Harapannya kandas. Belajar dari pengalaman lampau, bila dalam sebulan saja perusahaan tak menghubungi maka besar kemungkinannya cuma satu: si pelamar kerja tidak diterima.

Medio Agustus 2020 itu adalah kali terakhir Rani mengikuti tahapan seleksi penerimaan kerja di perusahaan. Susahnya mencari kerja di Bontang, hingga penolakan demi penolakan yang diterima membuat perempuan 27 tahun itu akhirnya memilih mengerjakan apa saja yang tersedia. Walau, pekerjaan tersebut jauh dari harapannya. Bahkan tak linier dengan latar belakang pendidikannya sebagai pemegang gelar diploma tiga teknik komputer. Kini ia berakhir sebagai penjual ponsel dan segala kebutuhannya atau frontliner di sebuah toko ponsel di bilangan Jalan Ahmad Yani, Kecamatan Bontang Utara.

“Yah, mau gimana lagi. Cari kerja (di Bontang) susah. Cuma di konter saja ada lowongan, yaudah aku masuk situ daripada nganggur,” ujarnya ketika berbincang dengan media belum lama ini.

Advertisement

Sejatinya di toko ponsel tak pernah jadi keinginannya. Namun kondisi sulit di Bontang memaksanya melakoni pekerjaan itu.

Rani menceritakan, usai merampungkan pendidikan SMA pada 2014, ia sempat bekerja sebagai penjaga toko baju di Jalan Brigjen Katamso, Bontang. Sekitar 8 bulan ia bekerja di sana.

Rani lantas berpikir, tak mungkin selamanya ia bekerja sebagai penjaga toko. Ia mesti berkembang. Ia mesti mencari pekerjaan lebih baik. Pekerjaan yang mampu menyokong agar masa depannya lebih baik.

Lepas berdiskusi dengan kedua orangtuanya, Rani memutuskan untuk melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi. Dia bakal ambil diploma tiga teknik komputer di salah satu politeknik di Samarinda. Alasan melanjutkan studi sebenarnya sederhana: mereka yang berkuliah lebih mungkin mendapat pekerjaan lebih baik ketimbang lulusan SMA. Selain juga karena ia suka komputer.

Advertisement

“Di mana-mana kan orang berpikirnya begitu. Lulusan kampus lebih mudah cari kerja daripada anak SMA, tapi kenyataanya ya sama aja susahnya,” kata Rani menekuk bibir.

Perempuan kelahiran 1995 itu merampungkan pendidikannya selama 3 tahun. Gelar Amd.T tersemat di belakang namanya. Akhir 2018 ia kembali ke kota kelahirannya dengan optimisme dan semangat ala fresh graduate.

Sebulan dua bulan usai lulus, ia masih santai. Memasuki bulan ketiga Rani mulai merasa tak enak hati dengan keluarga karena hanya tinggal di rumah. Akhirnya ia makin intensif mencari lowongan pekerjaan.

Nyaris saban hari membuka akun medsos milik Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Bontang, mencari di grup-grup lowongan kerja (loker) di Facebook, bertanya dengan kawan-kawannya yang sudah kerja, bergabung grup loker telegram. Hingga minta bantuan kenalan ayahnya yang pensiunan pekerja pabrik pupuk. Metode terakhir ini lebih akrab dengan istilah bantuan orang dalam atau ordal.

Advertisement

Dalam masa pencarian itu, Rani sempat mengikuti pelatihan administrasi di salah satu lembaga pelatihan. Tiga bulan ia dilatih. Setelahnya, ia magang di perusahaan tambang yang terletak di perbatasan Bontang-Kutai Kartanegara selama 4 bulan.

Sayangnya, tidak ada kelanjutan dari pelatihan kerja itu. Rupanya kala itu perusahaan hanya menerima anak magang tapi tidak sedang mencari atau membuka lowongan pekerjaan.

Baca Juga  Basri Rase Kukuhkan 41 Paskibraka Bontang Tahun 2023

Rani kembali ke kondisi semula: mencari pekerjaan.

“Aku enggak tahu yah, aku yang kurang usaha atau bagaimana. Rasanya sesusah itu nyari pekerjaan di Bontang,” sebut anak ketiga dari 5 bersaudara ini.

Advertisement

Rani adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Ayahnya seorang pensiunan dari perusahaan pupuk. Ibunya seorang ibu rumah tangga, yang nyambi jualan makanan ringan. Saat ini dia masih tinggal di rumah orangtuanya di Kelurahan Loktuan. Sebuah daerah yang dikenal sebagai bufferzone perusahaan. Sebutan itu digunakan untuk daerah yang bersinggungan langsung dengan areal pabrik. Lokasi kantor utama perusahaan dengan kediaman Rani jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 4,5 kilometer. Namun untuk menembus pabrik, menjadi bagian di dalamnya, rupanya bukan perkara mudah.

NUR (bukan nama sebenarnya) sejak tadi fokus menatap layar laptopnya yang berukuran 14 inci itu. Sesekali ia menulis beberapa hal di buku catatan Hal penting ia blok menggunakan stabilo hijau, sementara penjelasannya ia tulis menggunakan pulpen hitam.

‘’Bisanya memang aku ulang materi K3. Harus rajin diulang soalnya kita banyak juga belajar pasal-pasal,’’ ungkap Nur ketika dijumpai di kediamannya di Kelurahan Loktuan belum lama ini.

Pelatihan K3 itu diambil pertengahan Maret hingga awal April 2022. Ia digelar daring. Namun ini cukup menantang, sebab peserta pelatihan mesti belajar banyak materi, seperti pasal-pasal dalam keamanan dan keselamatan kerja (K3), manajemen keamanan perusahaan, hingga melakukan analisis lapangan. Pelatihan ini diambil Nur agar ia memperoleh sertifikasi K3.

Advertisement

“Kalau kerja di pabrik kan butuh sertifikasi, makanya aku ambil,” bebernya.

Nur mengatakan sertifikasi itu diambil untuk keperluan mencari kerja. Namun keberadaan sertifikasi rupanya tak membuat segalanya lebih mudah. Setidaknya sejak mengantongi sertifikasi K3 6 bulan lalu, hingga kini ia tak kunjung mendapat pekerjaan.

Bukannya tidak berusaha mencari, Nur selalu berupaya. Aktif mencari di Disnaker melalui akun media sosialnya dan jaringan pertemanan sudah dilakukan. Mencari informasi melalui Disnaker adalah saluran utama mencari kerja di Bontang, karena menurut regulasi daerah, perusahaan wajib melapor kebutuhan tenaga kerja ke pemerintah. Bertanya dengan kerabatnya yang sudah kerja pun telah dilakukan. Tapi tetap tak ada.

“Gimana yah, kita sudah usaha, tapi ya tidak ada,” sebutnya.

Advertisement

Perempuan 25 tahun ini adalah alumni jurusan Kesehatan Masyarakat (Kesmas) dari salah satu universitas negeri kenamaan di Samarinda. Ia lulus pada 2021 lalu.

Tiga bulan usai lulus kuliah, Nur sempat bekerja di salah satu instansi pemerintah di Samarinda. Ia dikontrak selama 3 bulan, yang berakhir November 2021.

Usai pekerjaannya selesai, Nur kembali ke Bontang. Mencoba peruntungan di kota kelahirannya ini. Namun sayangnya, sejak terakhir kerja, November 2021 hingga Oktober 2022, Nur tak kunjung mendapat kerja.

“Saya sampai bingung, kok susah ya di Bontang ini?” kata bungsu dari 6 bersaudara ini.

Advertisement

Keheranan Nur ini beralasan. Pertama, lowongan yang bias gender. Dia mencontohkan, sejak Januari-September 2022, ada 2 lowongan safety diperuntukkan untuk laki-laki.

“Kalau perempuan tidak bisa jadi safety, ngapain coba ada pelatihan safety buat perempuan. Kan aneh kalau yang direkrut cuma laki-laki,” ungkapnya.

Baca Juga  Enam RT di Lok Tuan Sering Banjir Gara-gara Parit Mampet

Kedua, ia heran dari begitu banyak perusahaan di Bontang, mengapa sangat jarang lowongan dibuka. Sementara penduduk di Bontang terbilang sedikit ketimbang daerah lain di Kaltim, itu pun tak semuanya masuk angkatan kerja.

“Masa industri yang ada di Bontang ini tidak sanggup akomodir pekerja lokalnya sendiri,” cecarnya. “Aku tidak masalah kalau misalnya ada lowongan, ikut seleksi terus gagal. Mungkin perlu belajar lagi. Tapi ini, kita benar-benar tidak dikasih akses dan kesempatan.”

Advertisement

Sebagai putri asli daerah, baik Rani atau Nur punya imajinasi soal pekerjaan yang ideal di masa depan. Tak beda jauh dengan anak-anak Bontang lainnya, Rani mendambakan bekerja di pabrik. Sebab pekerjaan ideal di benak anak muda Bontang umumnya bekerja di pabrik atau pegawai negeri sipil (PNS), mengingat pekerjaan itulah yang sehari-hari ia saksikan sejak kecil. Nyatanya memang tak banyak pilihan pekerjaan di kota ini selain pekerja pabrik, PNS, bekerja di perusahaan keuangan, pembiayaan, leasing, berwirausaha, atau pekerja sektor informal seperti seperti penjaga toko.

Bontang adalah kota kecil di pesisir Kaltim. Ia berjarak sekitar 120 kilometer dari ibu kota provinsi, Samarinda.

Walau menjadi kota dengan luasan wilayah paling kecil ketimbang 10 kabupaten/kota lain di Kaltim, namun Bontang cukup populer dengan citranya sebagai “kota industri”. Ini tak mengherankan sebab kota yang total penduduknya hanya 185 ribu jiwa ini laiknya dibentengi mega industri.

Di utara, berdiri perusahaan produsen pupuk PT Pupuk Kalimantan Timur (Pupuk Kaltim). Di selatan, ada perusahaan pengolahan gas alam cair, PT Badak LNG. Masih di selatan Bontang yang berbatasan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), ada markas perusahaan batu bara PT Indominco Mandiri (IMM). Belum lagi perusahaan lain yang berada di satu areal industri dengan perusahaan besar ini, yang sebagian besar merupakan pabrik pengolahan zat-zat kimia. Sebut saja PT Dahana, PT Kaltim Methanol Industri, PT Kaltim Parna industri, PT Kaltim Nitrate Indonesia, dan PT Kaltim Industrial Estate.

Advertisement

Bontang sejak dulu memang menegaskan dirinya sebagai kota industri. Ini bisa terlihat dari logo Kota Bontang yang di dalamnya terdapat ikon api obor. Ia melambangkan semangat pembangunan yang didukung industri gas alam dan pupuk. Gambar megahnya pabrik juga kerap terpampang dalam baliho-baliho milik pemkot. Pun citra kota industri itu terus direpetisi oleh pejabat daerah, baik eksekutif dan legislatif. Para politikus lokal, hingga pegiat LSM.

Sayangnya, citra kota industri itu tidak linier dengan ketersediaan lapangan kerja di Bontang. Bukannya menjadi kota dengan tingkat pengangguran terendah, ironisnya Bontang justru bercokol di posisi puncak sebagai kota dengan angka pengangguran terbuka tertinggi di Kaltim.

Berdasarkan data dari BPS Kaltim, angka pengangguran di kota bersemboyan Bessai Berinta (mendayung bersama, bahasa Kutai) ini mencapai 9,92 persen atau setara dengan 8.935 orang pengangguran. Sementara jumlah angkatan kerja pada periode sama mencapai 135.172 orang, laki-laki 70.623 dan perempuan 64.549.

KERJA APA SAJA ASAL KERJA
DALAM ingatan Rani, sejak kembali ke Bontang akhir 2018, sudah belasan kali ia mengirim surat lamaran kerja ke berbagai perusahaan. Tak ada yang berhasil. Dari semua lamaran itu, hanya dua sampai pada tahap wawancara.

Advertisement
Baca Juga  Kontainer Sampah Sudah Ditarik, Warga Masih Buang di Pinggir Jalan, Butuh Waktu

Rani mengaku, masalah bagi pekerja perempuan bukan hanya soal susahnya mencari kerja. Ini semakin diperparah dengan ketersediaan lapangan kerja bagi mereka terbilang minim.

Secara umum mencari kerja di Bontang susah, namun bagi pekerja perempuan kondisinya makin menyedihkan. Berbagai lowongan pekerjaan yang biasa ditampilkan Disnaker sebagian besar diperuntukkan bagi pekerja laki-laki.

“Aku tidak tahu juga kenapa perempuan kurang lowongannya. Apa karena kita perempuan ya? Maksudku, mungkin perusahaan takut kalau perempuan minta banyak cuti,” ungkapnya.

Kebutuhan hidup memaksa Rani harus bersedia mengerjakan apa saja yang tersedia. Tidak boleh ada gengsi. Ia tak enak bila terus-terusan membebani orangtua. Keluarganya kini tergantung dari pendapatan ibunya yang berjualan makanan ringan yang, menurut Rani nilainya tidak seberapa. Juga dari kontrakan rumah kecil yang dibangun menggunakan sisa duit pensiun ayahnya. Namun uang bulanan kontrakan tak seluruhnya diterima keluarga, lantaran ia punya satu adik laki-laki yang berkuliah dan perlu dibiayai.

Advertisement

Maka di sinilah Rani sekarang, bekerja sebagai frontliner di toko ponsel. Di toko yang terletak di Jalan Ahmad Yani itu, ada 4 orang karyawan, kasir dan frontliner—termasuk Rani, kemudian 5 orang promotor— karyawan langsung dari suatu merek ponsel yang ditempatkan di konter.

Saban hari, Rani bekerja mulai pukul 08.30-16.30 Wita. Dari pekerjaanya ini, ia mendapat gaji pokok Rp 900 ribu. Nilainya bisa bertambah di akhir bulan, bila jumlah ponsel dijual makin banyak. Nantinya, nilai jual ponsel bakal diakumulasikan, sebesar 0,30 persen dari nilai akhir itu kemudian diberikan kepada Rani.

“Akhir bulan biasa dapat Rp 1,2 juta sampai Rp 1,5 juta. Paling tinggi Rp 1,7 juta, tapi jarang,” ungkapnya.

Upah yang diterima Rani ini jelas jauh di bawah standar upah minimum kota (UMK) Bontang. Pada 2021 misalnya, UMK Bontang sebesar Rp 3,1 juta.

Advertisement

Minimnya gaji sebenarnya dikeluhkan Rani. Tapi dia tak punya pilihan lain. Seperti yang selalu diulangnya sepanjang obrolan ini, menurutnya lebih baik gaji kecil daripada menganggur dan tak punya pemasukan sama sekali.

Persoalan tak berhenti di situ. Hak lain seperti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan rupanya tak diberikan. Begitu pula hak cuti. Sebulan, ia diberi jatah libur hanya sebulan dua kali. Itupun waktu libur ditentukan bos. Sementara bila ia minta libur di luar tanggal yang telah ditentukan, siap-siap upahnya bakal dipotong Rp 100 ribu per hari.

“Sedih sih, tapi ya sudah jalani aja yang ada,” akunya.

Di hari-hari yang suntuk, ketika ia mengeluhkan soal pekerjaannya ini, ditambah susahnya mencari pekerjaan, Rani kerap berpikir tak ada gunanya dulu ia berkuliah. Hanya menghabiskan waktu dan uang.

Advertisement

Impiannya untuk mendapat pekerjaan lebih layak ketika memutuskan kuliah seperti diremuk oleh kenyataan. Rani merasa seperti pesakitan di kotanya sendiri, kota di mana ia lahir dan tumbuh. Pontang panting mencari kerja kayak, tapi tak kunjung dapat.

“Kalau mau cari kerja cara normal di Bontang kayaknya gak akan bisa deh. Mana bisa di sini kalau tidak ada ordal (orang dalam),” ujarnya sembari berkelakar, walau terdengar nada getir di dalamnya.

Penulis : Fitri Wahyuningsih

Artikel ini sudah tayang sebelumnya dengan judul https://kaltimtoday.co/nestapa-pekerja-perempuan-di-bontang-pontang-panting-cari-kerja-di-kota-industri/

Advertisement
Continue Reading
Advertisement