Connect with us

Opini

Opini: Pancasila Dalam Pergulatan Zaman

Published

on

Andi Ade Lepu.

PANCASILA DALAM PERGULATAN ZAMAN

(Renungan hari lahir Pancasila)

 Oleh: Andi Ade Lepu,Kandidat Doktor Administrasi Publik Universitas Negeri Makassar.

 PENDAHULUAN

Advertisement

Tak ada definisi baku perihal tafsir final Pancasila. Seperti geliat peradaban yang terus berkembang, seperti itu pula kita membacanya dalam lembaran-lembaran yang diwariskan setiap episode generasi. Pancasila mengalami banyak perluasan, penyempitan, dan juga deviasi dalam perjalannya.

Kita mahfum adanya karena Pancasila bukanlah wahyu kitab suci. Kelahirannya tidak ditandai kemunculan seorang nabi. Ia adalah pengiring  kelahiran negara yang menghimpun segenap potensi kemajemukan.

Tak sampai di situ saja, ia juga adalah imajinasi kreatif dari para pendiri bangsa yang tumbuh dari tantangan berat sejarah yang dihadapi. Ia lahir dari pertandingan ideologi, kepentingan, akal budi yang gencar, lama, dan penuh cobaan.

Setelahnya pula, Pancasila mengalami akselerasi dunia di akhir-akhir masa kolonialisme global dan kebangkitan bangsa-bangsa terjajah. Kita lalu memahami Pancasila sebagai sumber inspirasi yang menggabungkan banyak visi, isme, dan gagasan yang terus menerus berkembang.

Advertisement

Seluruh faktor-faktor pengaya eksistensinya layak disebut sebagai peristiwa sejarah dalam koneksi keindonesiaan. Semua itu menyatu dalam kebutuhkan kita akan perlunya formula vaksin bagi survivalitas persatuan.

Maka, kita bisa membaca Pancasila dari arah mana saja, dari sudut apa pun juga, dan dari tema yang bagaimana pun adanya. Ia selalu relevan dalam kondisi dan konteks berkebangsaan yang terus berlangsung. Pancasila adalah mata air yang mengalir sepanjang jalan Indonesia.

Anak-anak bangsa akan menjadikannya satu jalan raya  besar bagi keragaman kebutuhan dan tantangan masa depan. Itulah alasan kenapa Pancasila mengalami dialektika yang sangat dinamis sepanjang kemerdekaan awal sampai masa orde baru.

Namun kini, perlahan legacy sejarah itu memudar terutama di sisa reformasi yang makin layu, kita melihat Pancasila mulai sepi dari tema-tema zaman yang menarik. Ia mulai dianggap sesuatu yang tak lagi dibutuhkan. Globalisasi dan terjangan arus dunia yang sangat cepat telah mematikan ruh berbagai ideologi rujukan, dan Pancasila terikut di dalamnya. Ia mulai menjadi benda mati yang terkesan tak lagi dibutuhkan.

Advertisement

Itu sebuah problem serius. Kita membutuhkan pembacaan cermat atasnya. Kita perlu menjenguk lebih dalam di tubuh kebangsaan kita yang rapuh ini, kenapa jarak kesenjangan sejarah makin menganga? Apa yang terjadi di masa-masa reformasi yang euforis ini sehingga gejala kemandegan Pancasila semakin besar? Laksana gajah di pelupuk mata?

Pancasila hari-hari ini telah mengalami penyempitan makna sebagai milik golongan tertentu yang sangat demarkatif.

Pancasila ditarik dari cakrawala negara, bahkan dunia, menjadi kavling golongan tertentu di sekat-sekat wilayah kecil. “Aku Pancasila” seperti halnya “Aku NKRI” adalah sebuah gejala yang kuat dalam polarisasi itu. Anehnya, banyak dari kita hanya berhenti di jargon seru-seruan tak produktif itu.

Alih-alih makin membuminya denyut Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila bahkan terkesan terpinggirkan dalam pusaran sejarah yang sedang berlangsung. Ia seperti tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformis.

Advertisement
Baca Juga  PEMERINTAH HARUS UMUMKAN IDENTITAS PASIEN POSITIF CORONA

Pancasila mulai jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Sebagian masyarakat bangsa Indonesia yang sedang larut dalam mainan media sosial, ikut hanyut menerabas di seluruh percakapan sehari-hari yang jauh dari makna.

Dari semua pembicaraan-pembicaraan yang mampu kita tangkap, seluruh ruang waktu hampir sesak dengan oksigen Pancasila yang tercemar. Pancasila nampak tereliminasi dari denyut kehidupan bangsa Indonesia yang diwarnai suasana hiruk-pikuk demokrasi dan kebebasan bernarasi.

Dengan demikian, kita perlu membaca ulang Pancasila sebagai dialektika zaman yang tetap harus dihadirkan di tiap episode. Sebenarnya, kita sudah sering melakukannya, tapi hanya dalam kalimat-kalimat ejakulatif tak bermakna. Bahkan terkadang berputaran bagai laron yang menyerbu lampu. Mereka berhenti sebelum menyadari cahaya telah membunuhnya.

 

Advertisement

PEMBAHASAN

Dalam perjalanan panjang Pancasila yang sesungguhnya lebih tua dari usia Indonesia itu, ada baiknya kita menengok ke literatur sejarah yang penuh gelombang. Bahwa gelora kehidupan Pancasila, baik sebagai dasar negara dengan fungsi praksis dan kedudukan formalnya sebagai the way of life; mengalami segmentasi hidup dalam berbagai fase. Kita bisa membaginya setidaknya dalam 4 (empat) fase.

Fase pertama, Pancasila dalam rumusan awal. Dalam fase ini Pancasila adalah sebuah gagasan cetak biru. Ia ada dan dipengaruhi oleh alam pikir para pendiri bangsa ketika itu yang berbeda-beda latar belakang dan visi. Mereka-mereka ini (Moh. Yamin, Soepomo, Ir. Soekarno) adalah kader tempaan peralihan zaman yang besar. Mereka berjuang bukan sekadar kemerdekaan semata, melainkan untuk sebuah blue print atau pedoman tertinggi dari pergerakan kebangsaan.

Mereka elaborasikan semua dalam pengaruh atmosfir pergerakan kemerdekaan, tren global sosialisme versus kapitalisme, dan juga tarik menarik mahzab keagamaan dan nasionalisme awal keindonesiaan. Dalam fase ini, Pancasila adalah rangkuman arus geliat dunia. Doktrin bahwa Pancasila lahir dan digali dari dasar nilai-nilai luhur nusantara yang kemudian menjadi Indonesia, sebaiknya dibaca sebagai artikulasi pemersatu sejarah saja. Tidak sepenuhnya benar.

Advertisement

Karena seyogyanya, ia lahir dari rangkuman racikan testamen pergaulan ideologi dunia yang saat itu sangat mewarnai paradigma para perumus Pancasila, yang kemudian ternyata mampu diinternalisasi dengan nilai-nilai budaya awal Indonesia. Secara tergesa namun efektif, Pancasila kemudian menjadi tonggak awal, walaupun dipenuhi dinamika dan pergeseran-pergeseran nilai dalam susunan sila-nya. Fase pertama ini menjadi fase ontologisasi Pancasila.

Fase Kedua, Pancasila dalam pergumulan keindonesiaan. Fase ini menjadi tonggak batu asah Pancasila untuk dapat teraplikasi secara equal dalam relung pergaulan bangsa. Residu dialektika yang belum tuntas dalam fase awal menemukan benturan-benturan dalam implementasi orde lama. Inilah fase paling krusial dari Pancasila. Berbagai konflik ideologi yang berujung pada upaya disintegrasi berlangsung dalam banyak bentuk.

Mahzab keagamaan muncul dengan pembenturan nilai Pancasila yang terkoreksi dalam Piagam Jakarta. Demikian pula penganut sosialisme komunis yang melakukan tafsir berbeda dari semangat awal Pancasila. Tak kurang Soekarno sendiri sebagai pusat dominasi negara waktu itu mengumandangkan spirit Nasakom (Nasional, agama, dan Komunis). Nasakom dianggapnya menjadi perasan dari Pancasila.

Baca Juga  Dewan Dorong Sosialisasi JKN untuk Masyarakat Lebih Melek Teknologi

Anasir-anasir benturan paham itu lalu melahirkan banyak pertarungan ideologi sampai gesekan pemberontakan bersenjata. Dari kanan muncul DI/TII, dari kiri G 30 S / PKI, dan di tengah ada PRRI/Permesta.  Dalam konflik selama 20-an tahun itu lalu terbukti bahwa Pancasila mampu dipertahankan sebagai perekat kemajemukan bangsa. Banyak dari kita yang kemudian menyebut Pancasila sebagai wujud kesaktian NKRI. Pancasila mengalami masa epistemologis yang kuat pada fase ini. Soekarno mencoba merangkum semua ideologi dunia dalam satu kemasan Pancasila.

Advertisement

Fase ketiga dari Pancasila ditandai dengan tumbangnya orde lama berganti orde baru di bawah Soeharto. Fase ini bisa disebut sebagai fase Pancasila sebagai doktrin tunggal. Soeharto menjadikan Pancasila sebagai alat cuci otak, brain storming bangsa dengan jargon menegakkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Soeharto menegaskan Pancasila sebagai satu-satunya azas, bahkan pada akhirnya dia menjelma menjadi Pancasila itu sendiri. Menentangnya akan berarti menentang Pancasila. Konsep Pancasila yang digagas Soeharto mengetengahkan negara dengan hanya satu asas, dan harus bebas dari unsur-unsur PKI dan anasir-anasir Islam.

Selain itu, demi stabilitas dan kehidupan yang “pancasilais”, semua kegiatan pergaulan rakyat dibatasi dalam kerangka stabilitas (keamanan dan ketertiban masyakat). Partai politik disederhanakan, pers dibatasi di bawah pengawasan yang ketat, dan konsep demokrasi mengalami pergeseran pada apa yang disebut sebagai demokrasi Pancasila.

Pemerintahan stabil dan efektif namun menyisakan banyak api dalam sekam. Soeharto menjadikan Pancasila sebagai alat represif. Palu godam di tangannya yang dingin adalah penyimpangan aksiologisasi Pancasila yang menakutkan. Pada fase inilah fragmentasi politik menjadi makin membesar hingga munculnya gelombang reformasi 1998 yang menumbangkan orde baru dan mengakhir fase represif atas nama Pancasila.

Advertisement

Fase ke-empat Pancasila diawali dengan euforia reformasi di semua bidang. Soeharto yang dengan kekuatan penuh dan terpusat tiba-tiba tumbang. Kran otonomisasi dan desentralisasi terbuka demikian derasnya. Muncullah fase Pancasila dalam pasungan reformasi yang kita sebut fase kedaruratan nilai. Pancasila seolah hanya sebuah keris pusaka yang disimpan di lemari yang terus menerus mengalami glorifikasi “mistikal”.

Perlahan ia tergusur dari keseharian kehidupan kita yang juga terus berubah-ubah baik di tingkat domestik, regional maupun global. Di sisi lain, euforia reformasi tak kunjung reda dalam trauma masyarakat atas penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila.

Hal tersebut telah menyebabkan “amnesia nasional” tentang pentingnya Pancasila sebagai norma dasar (ground norm) dalam keragaman dan kemajemukan. Setelahnya terjadi arus balik di mana Pancasila yang memusat di ranah penguasa menjadi milik golongan, trah, dan bahkan partai politik tertentu.

Pancasila dalam degradasi nilai ini menjadi alat pemukul dalam bentuk yang baru namun lebih sarkastik. Pancasila tak lagi menjadi perekat, bahkan berpotensi menjadi api bagi yang lain. Pancasila diposisikan  berhadap-hadapan dengan agama (musuh besar Pancasila adalah agama), setelah itu berlangsung dalam silang sengkalut, isunya lalu ditarik kembali ke perdebatan masa awal, eka sila, soekarnoisasi, dan bentuk-bentuk kejumudan lainnya yang polaristik.

Advertisement
Baca Juga  Perspektif Kolaborasi: Bergerak Bersama Sapkandara dan Rumah Sakit PT Badak dalam Mencegah Kanker di Bontang

Bercermin dari pergulatan masa ke masa itu, paradigma Pancasila yang mengalami degradasi nilai harus kembali diangkat ke permukaan tata nilai kebangsaan kita. Bahwa Pancasila bukan milik sebuah era, trah, atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu; tetapi Pancasila adalah dasar negara yang menjadi penyangga bangunan arsitektural yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Agenda-agenda reformasi yang dinilai mandeg dan hanya menghasilkan kemajuan demokrasi dan kebebasan berekspresi; seyogyanya tetap memberi ruang artikulasi yang memadai bagi Pancasila. Karena jika ini terus berlangsung, potensi etno nasionalisme yang berbasis bangsa etnik, dan  etno sentrisme  yang memusat pada rujukan kelompok (golongan, trah) akan bertumbuh dengan subur. Ini adalah warning besar bagi keutuhan NKRI!

 KESIMPULAN

Agenda pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen (meminjam istilah Soeharto), yang penuh dinamika seperti yang dipaparkan di atas; jelas membutuhkan dimensi waktu dengan satuan abad, bukan tahun. Ia memerlukan durasi proses panjang yang  berkesinambungan dari generasi ke generasi. Karena nilai-nilai Pancasila ditemukan oleh para pelopor bangsa dalam sebuah konvergensi ide-ide global yang kemudian terinternalisasi dengan nilai-nilai luhur bangsa. Prosesnya ketat, butuh waktu panjang. 

Advertisement

Perbedaan-perbedaan tafsir dan implemetasi dalam berbagai fase atau episode yang tergambar dalam dinamika di atas, telah meninggalkan beberapa pesan yang harus kita catat:

Pertama, Pancasila lebih sering dijadikan ornamen kekuasaan ketimbang perekat bangsa, maka tafsir Pancasila adalah tafsir paradigma kekuasaan. Ini adalah parasit Pancasila.

Kedua, secara ontologis, basis keberadaan Pancasila telah menemukan kesepakatan di awal-awal kemerdekaan. Walaupun menyisakan beberapa residu, ia cukup memperkuat kedudukannya sebagai perekat dasar deologi dan dasar negara.

Ketiga, dalam frame epistemologis, Pancasila terbukti memiliki metode kebenaran dan daya hidup yang mampu bertahan dalam terpaan zaman,

Advertisement

dan keempat, secara aksiologis, Pancasila mengandung nilai-nilai dasar imperatif yang terus menerus memerlukan maintenance generasi dalam syarat-syarat penerapannya yang genuine.

Pancasila jelas sebuah anugerah bagi Bangsa Indonesia yang tidak dipersatukan oleh sesuatu yang bersifat kasat mata sebagaimana banyak negara-negara dunia lahir darinya. Indonesia lahir bukan dari hegemoni ras, kesatuan geografis, budaya, bahasa atau agama.

Indonesia adalah bangsa yang plural majemuk berdimensi multikultural, namun dapat hidup menyatu ke dalam sebuah bangsa. Kita dipersatukan oleh sebuah sistem filsafat hidup (philosofiche groundslag) yang bernama Pancasila. Dari sanalah kesadaran generasi harus terus ditumbuhkan dan dihadirkan. Semua proses itu perlu dihadapi dengan spirit berkemajuan sepanjang dekade ke dekade secara cerdas bersama nurani akal sehat yang hidup; maka insyaAllah umur bangsa ini akan sangat panjang melampaui dua pendahulu Indonesia, Sriwijaya dan Majapahit.

*) Kandidat Doktor Administrasi Publik Universitas Negeri Makassar.

Advertisement